Senin, 30 November 2015

Pemilu Indonesia. Demi 250rb Rakyat Digantung


Mahkamah Konstitusi (MK), 8 Juli lalu telah membatalkan larangan politik dinasti dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah, gubernur, bupati, dan wali kota pasal 72 huruf r, yakni: tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana bagi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah, dengan penjelasan, yaitu yang memiliki ikatan perkawinan dan darah lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping. Yang termasuk dalam persyaratan tersebut adalah suami/istri, orangtua, mertua, paman, bibi, anak, menantu, adik, kakak, dan ipar kecuali jeda satu periode (lima tahun).

Banyak pengamat pemilu memandang keputusan MK tersebut kurang tepat, karena politik dinasti dianggap sebagai penyumbang korupsi, perusak birokrasi, dan tentunya juga dianggap sebagai perusak moral publik. Intinya politik dinasti dianggap sebagai barang yang kotor dan patut dibuang jauh-jauh dari negeri ini.

Penyalahgunaan kekuasaan yang tercermin di provinsi Banten menjadi salah satu contoh utama bagi para pengamat pemilu untuk mempengaruhi publik agar membenci politik dinasti, dan itu sangat berhasil. Publik pun saat ini sangat membenci dengan politik dinasti, dengan alasan yang sama dengan para pengamat pemilu. Padahal para pengamat pemilu tersebut memiliki kepentingan terselubung yakni berharap uang dari para donor asing.

Penulis tidak ingin membahas persoalan ‘dapur’ mereka (pengamat pemilu), namun menolak suami/istri, orangtua, mertua, paman, bibi, anak, menantu, adik, kakak, dan ipar dari kalangan petahana adalah tindakan yang melanggar hukum, karena menurut UUD 45 Pasal 28D Ayat (3), setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Di sisi lain, politik dinasti menjadi biang kehancuran suatu negara. Lalu, apakah kita harus mengabaikan UUD 45 pasal 28D Ayat (3)? Jawabanya tidak perlu melanggar hukum untuk memusnahkan politik dinasti. Kita cukup menjadi pemilih yang cerdas dalam menentukan siapa yang akan dipilih dalam Pilkada Desember 2015 nanti. Bukan malah melanggar hak konstitusi mereka para keluarga, kerabat petahana.

Pemilih cerdas akan memahami dengan baik makna politik dan segala implikasinya terhadap kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dengan demikian, pemilih cerdas tidak akan sembarangan memberikan hak suaranya. Ia akan memberikan suaranya hanya kepada para calon yang dianggap benar-benar baik dan lebih dari itu bisa memperjuangkan perbaikan daerahnya.

Pemilih cerdas sebelum menentukan dukungan dan mencoblosnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS), akan terlebih dahulu melakukan kalkulasi secara komprehensif agar tidak salah memilih. Pemilih cerdas tidak akan menjadikan uang recehan sebagai pengganti ‘nasib’ dalam satu periode politik yang panjang. Sebaliknya, justru akan memberikan partisipasi secara sukarela untuk melakukan kerja-kerja politik agar bisa menghasilkan politisi yang memberikan harapan perbaikan negara.

Jika melihat kelakuan para politisi akhir-akhir ini sangatlah memperihatinkan. Rasa apatisme masyarakat pun masih sangat tinggi. Edward Aspinall, profesor politik Asia Tenggara di Departemen Perubahan Sosial dan Politik di ANU, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia tidak punya gairah untuk menentukan masa depan pemerintahan, sangat berbeda dengan masyarakat di Malaysia.

Apa yang dikatakan Edward memang tak bisa dipungkiri, dan memang tidaklah mudah merubah kesadaran, cara berfikir, dan berani berbuat untuk sebuah negara dari sesuatu yang negatif menuju positif. Namun, jika mengingat bahwa kegagalan demi kegagalan telah dialami oleh negeri ini selalu dimulai dengan mentalitas rakyat yang kerap menadahkan tangannya untuk meminta-minta serta akan ‘marah’ jika tidak diberi.

Mentalitas tersebut yang membuat bangsa ini tidak akan mendapatkan pemimpin yang diidam-idamkan oleh rakyat. Sebab, sistem proposional terbuka (di pilkada nanti) memerlukan suara terbanyak, dan salah satu cara praktis untuk mendapatkan suara rakyat yaitu memberi rupiah agar dipilih. Sehingga maraknya politik uang dalam proses pemilu sedikit banyak telah mempengaruhi kualitas dan integritas para wakil rakyat yang kini sudah terpilih.

KPU RI telah memutuskan tahapan pemungutan suara pilkada serentak tahap pertama di sembilan provinsi pada 9 Desember 2015. Pemilihan tersebut menjadi salah satu faktor penting di daerah dalam mengawali langkah sebuah perubahan di negeri ini. Sebab, jika kita mendapatkan pemimpin yang berkualitas, jujur dan adil maka kesejahteraan bisa terwujud, namun akan terbalik jika yang terjadi malah sebaliknya.

Oleh karenanya, perilaku buruk seperti meminta upeti kepada calon kepala daerah, rupiah menjadi faktor dalam menentukan pilihan, merubah dan memanipulasi surat suara pada saat pemilihan, haruslah dihindari jauh-jauh karena selain merusak demokrasi itu sendiri. Perilaku tersebut juga akan mengakibatkan calon pemimpin yang berkamuflase sebagai protagonis kmungkinan besar akan terpilih, dan calon pemimpin yang jujur dan amanah sulit untuk terpilih.

Dalam situasi saat ini, diperlukan perubahan mental yang radikal di negeri ini. Rakyat harus disadarkan bahwa pemberian rupiah dalam pemilu sangat menyengsarakan kelak, pasalnya bangsa ini tidak akan maju jika watak ‘mencari selamat sendiri-sendiri’ yang pernah dikatakan oleh Romo Mangun (1999) menjadi dasar dalam menentukan pilihan.

Kita harus berani meninggalkan setiap pemilihan yang mengandalkan politik uang. Jangan mengorbankan kesejahteraan dan keadilan untuk memilih pemimpin yang busuk, yang hanya bisa menyebarkan uang untuk kesenangan rakyat sesaat. Oleh karena itu, sekarang pilihannya ada di tangan kita. Apakah lebih memilih pilkada tanpa rupiah, atau cara-cara kotor (menggunakan politik uang) masih diperlukan dalam setiap pemilihan umum. Semoga kita menjatuhkan pilihan bukan berdasarkan rupiah, akan tetapi berdasarkan jejak rekam (track record) dan keterampilan.[suararakyat.co.id]

Artikel Terkait

Pemilu Indonesia. Demi 250rb Rakyat Digantung
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email